Jakarta (wartalogistik.com) - DPP
Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) sangat menyayangkan pernyataan Direktur
Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian
Perhubungan, Dwi Budi Sutrisno di media yang menyatakan kewenangan soal menangani ketenagakerjaan
pelaut tetap kewenangan Kementerian Perhubungan sepenuhnya,
bukan pada solusi agar kapal-kapal berbendera Indonesia tidak ditahan oleh port state control (PSC) di pelabuhan
luar negeri karena tidak bisa menunjukan sertifikat sudah menerapkan MLC
(Maritime Labour Convention) 2006.
“Seharus yang dibicarakan apa yang akan dilakukan pemerintah agar
kapal-kapal berbendera Indonesia bisa tidak ditahan di pelabuhan di luar negeri
terkait penerapan MLC yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia sejak tahun
2016,” ungkap Ketua Advokasi, Hukum dan HAM DPP PPI, Imam Syafi’i, di
kantornya, Jakarta
Utara, Kamis (30/8).
Menurut
Imam Syafi’i pernyataan Dwi Budi Sutrisno yang disampaikan pada Selasa (28/8), berdasarkan kesepakatan
dalam rapat yang melibatkan Sekretariat Kabinet, Kemenko Maritim, Kementerian
Ketenagakerjaan, Kemenhub, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Klasifikasi
Indonesia (BKI). Padahal jika berdasarkan rapat koordinasi itu
amanatnya adalah mengidentifikasi masalah yang menjadi kendala penerapan MLC
baik dari sisi ketenagakerjaan maupun perhubungan laut, Kemenhub segera menyelesaikan
penahan kapal Indonesia dengan mengikutsertakan pengawas ketenagakerjaan,
Kemenaker menyusun peraturan ketenagakerjaan terkait MLC, membentuk tim koordinasi pelaksanaan MLC.
“Tapi yang
disampaikan ke masyarakat terkait kewenangan mengurusi ketenagakerjaan. Dan
jika dikaitkan dengan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 337 secara
explisit telah mengamanatkan bahwa ketentuan ketenagakerjaan di bidang
pelayaran dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan,” ungkap Imam Syafi’i.
Selain itu juga, jika kami (PPI) melakukan kegiatan pembelaan pada
pelaut soal kesejahteraannya, soal upah rendah Ke Kemenhub atau ke Ditjen Hubla,
selalu diarahkan untuk ke Kemenaker. Karena Kementerian Perhubungan melalui
Ditjen Hubla hanya punya kewenangan soal kompetensi pelaut saja.
“Tapi ketika adanya kapal-kapal yang ditahan di luar negeri karena belum
memiliki sertifikat penerapan MLC, yang
di dalamnya ada ketentuan soal penerapan kesejahteraan pelaut berdasarkan
standar internasional itu, pihak Ditjen Hubla tetap menggaungkan soal
kewenangannya menangani tenaga kerja,” ujar Imam.
Imam Syafi’i berharap untuk
menyelesaikan masalah kapal-kapal bisa aman keluar masuk di pelabuhan luar
negeri perlu dilakukan kordinasi Kemenaker dan Kemenhub untuk membuat kebijakan
agar ada solusi bagi kapal-kapal yang ditahan di luar negeri karena tidak ada
sertifikat pemenuhan penerapan MLC.
Bagi Imam Syafi’i masalah penahan
kapal di luar negeri terkait belum menerapkan MLC, seharusnya menjadi pelajaran
berharga bagi pemerintah dalam menangani pelaut. Karena penanganan
kesejahteraan pelaut di dalam negeri masih minim. Misalnya, upah
tidak layak (dibawah standar UMP/UMK), PHK sepihak, tidak diikutsertakannya
sebagai peserta program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan oleh
pemberi kerja, hingga persoalan asuransi atau
santunan kematian yang diterima oleh ahli waris tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
“Harusnya ini jadi pelajaran, kita sudah ratifikasi MLC, tapi belum juga
menerapkan. Akibatnya seperti ini ( kapal di tahan di luar negeri). Di dalam
negeri memang tidak masalah, tapi di luar negeri jadi masalah,” papar Imam
Syafi’i.
Sebagai informasi peristiwa penahanan
kapal di luar negeri berlangsung sejak bulan Juli tahun ini, terkait
Indonesia sebagai anggota negara yang
meratifikasi MLC pada Juni 2018.
Atas masalah itu Menteri Sekretaris Kabinet, Pramono Anung melakukan
rapat kordinasi lintas kementerian yang
terkait dengan penerapan MLC pada bulan
Juli untuk mengatasi masalah tersebut. (Abu Bakar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar