Jakarta (wartalogistik.com) – Pengangkutan batu bara di Palembang, Sumatera Selatan sedang menghadapi masalah. Itu terjadi, ketika Pemerintah Daerah Provinsi Palembang membuat kebijakan yang melarang truk pengangkut batu bara melintasi jalan umum. Atas
kebijakan itu Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat),
Kementerian Perhubungan membenarkannya, karena menjadi
kewenangan pemerintah daerah, namun Asosiasi
Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyayangkan kebijakan tersebut karena
bisa mengganggu pasokan batubara untuk
kebutuhan PLTU dalam negeri.
Pelarangan itu berdasarkan terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub)
Sumatera Selatan Nomor 74 tahun 2018 yang mencabut Pergub Nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batu Bara Di Jalan Umum.
Ditjen Hubdat membenarkan kebijakan itu karena untuk menjaga aspek
keselamatan, baik keselamatan pengemudi maupun masyarakat yang dilalui
sepanjang jalan umum. Selain itu untuk menjaga kondisi jalan dan mengatasi kerugian negara akibat Over
Dimensi dan Over Loading (ODOL) yang makin parah.
“Ada beberapa permasalahan yang timbul dampak dari angkutan batu
bara yakni mengenai komposisi lalu lintas yang didominasi angkutan barang, juga
berdampak pada kepadatan lalu lintas, serta meningkatnya kecelakaan dan
kerusakan jalan,” papar Dirjen Hubdat, Budi Setiyadi menggelar Diskusi
Antisipasi dan Penanganan Dampak Operasional Angkutan Batu Bara di Provinsi
Sumatera Selatan dan Jambi pada Jumat (16/11) kemarin yang digelar di kantor
Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah VII Provinsi Sumatera Selatan
dan Bangka Belitung.
Terkait adanya Pergub ini, masyarakat juga mendukung dan merasa
senang atas terbitnya peraturan tersebut karena seringkali angkutan batu bara
menyebabkan jalanan yang mereka gunakan menjadi macet dan rusak.
Dirjen Hubdat berharap dari kebijakan ini semua pihak baik
pemerintah, transportir, maupun pengusaha dapat bekerja dan menaati peraturan
yang berlaku.
“Ekonomi dan proses bisnis bisa berjalan dengan baik jadi kita
semua dapat berjalan beriringan. Jangan sampai menang-menangan. Cepat atau
lambat tentang persoalan ODOL di Indonesia sedang kita tegakkan tapi jangan
begitu kita kasih toleransi lantas tidak ada pergerakan sama sekali,” kata
Dirjen Budi sekaligus mengantisipasi persoalan truk ODOL.
Terkait angkutan batu bara, Budi juga memberikan saran
untuk memberikan pelayanan khusus bagi angkutan batu bara.
“Saya rekomendasikan
untuk memakai tanda khusus jadi petugas bisa mengetahui mana truk yang bisa
mengangkut batu bara dan tidak,” kata Dirjen Budi.
Dalam rapat ini mengundang Kepala Dinas Perhubungan Provinsi
Sumatera Selatan (Sumsel), Kepala Dinas Perhubungan tingkat Kabupaten/ Kota se
Sumsel, pengusaha dan transportir batu bara, serta Kepolisian setempat.
Sementra itu Hendra
Sinadia, Direktur Eksekutif APBI mengungkapkan
kebijakan pelarangan angkutan batu bara akan
berdampak pada pasokan batubara dari
Sumsel sekitar 10 juta MT yang setiap tahunnya melewati jalan umum atau
berkisar senilai US$ 500 juta,
“Pengalihan ke
jalan khusus, yaitu jalan Servo yang dikelola Titan, serta angkutan kereta api,
yang ada saat ini diperkirakan tidak dapat menampung pengalihan pasokan
tersebut,” ungkapnya.
Produksi
batubara di Sumsel pada tahun 2018 ditargetkan mencapai 48,5 juta MT atau
sekitar 10 persen dari total target produksi nasional. Sekitar 25 juta MT
batubara Sumsel diproduksi dari tambang PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan
sisanya sekitar 23,5 juta MT diproduksi oleh sekitar 30-an perusahaan tambang.
Oleh karena
itu, kata Hendra, APBI menghimbau agar
Pemprov Sumsel dapat mempertimbangkan lagi kebijakan tersebut dengan membahas
lagi secara komprehensif dengan para pelaku usaha terkait agar supaya kebijakan
yang dihasilkan lebih tepat sehingga sektor pertambangan batubara di Sumsel
dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Provinsi Sumsel dan Negara
Indonesia.
(Hilwa Salamah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar