Laut Sebagai Kedaulatan, Bukan Komoditas
Indonesia telah lama berdiri di atas prinsip asas cabotage — bahwa kapal yang beroperasi di perairan domestik harus berbendera Indonesia dan diawaki oleh pelaut Indonesia.
Namun kini muncul babak baru yang tak kalah penting: penguasaan nasional atas jasa-jasa pelayaran yang menopang industri maritim.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran, muncul gelombang perdebatan terkait kebijakan pembukaan kepemilikan saham asing hingga 51% di sejumlah usaha jasa pelayaran dan kepelabuhanan.
Pertanyaannya kini : Apakah Indonesia sedang memperkuat kedaulatan maritim, atau justru menggadaikannya di dermaga investasi global?
Jasa Terkait yang TIDAK Menjadi Tarik-Menarik Kepemilikan
Berikut usaha jasa terkait yang tercantum dalam UU Pelayaran No. 66 Tahun 2024, antara lain :
1. Jasa keagenan kapal.
2. Jasa keagenan muatan.
3. Jasa terminal petikemas.
4. Jasa pengurusan transportasi (freight forwarding).
5. Jasa bongkar muat (stevedoring).
6. Jasa penundaan kapal (tugging).
7. Jasa pemanduan kapal (pilotage).
8. Jasa perbaikan dan pemeliharaan kapal (ship repair).
9. Jasa penyimpanan dan pergudangan (warehousing).
10. Jasa logistik pelabuhan.
11. Jasa pengelolaan limbah kapal (marine waste management).
12. Jasa penyewaan peralatan pelabuhan.
13. Jasa konsultasi dan survei maritim.
Jangan salah — di balik istilah “jasa terkait” ini tersembunyi rantai kendali strategis atas seluruh operasional pelabuhan. Membuka kepemilikan asing di sini berarti memberi akses langsung ke jantung sistem pelayaran nasional.
Persilangan Regulasi : Pelayaran, Penanaman Modal, dan Cipta Kerja
UU Pelayaran No. 66 Tahun 2024 tidak berdiri sendiri. Ia harus dibaca beriringan dengan:
• UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
• UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan
• Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2021 tentang Daftar Positif Investasi (DPI).
Dalam sistem investasi nasional, prinsip umumnya adalah penanaman modal asing diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan asas kedaulatan ekonomi.
Dalam rezim investasi nasional, memang ada semangat “keterbukaan usaha”. Namun semangat itu harus tetap berpijak pada Prinsip Pasal 33 UUD 1945 : " Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Antara Investasi dan Kedaulatan
Pemerintah beralasan bahwa peningkatan porsi saham asing akan membuka akses pada modal besar, transfer teknologi, dan percepatan digitalisasi pelabuhan. Namun pelaku nasional membaca sinyal berbeda: potensi pergeseran kedaulatan ekonomi maritim.
Bisa bayangkan jika terkait dikuasai oleh asing, maka asas cabotage tinggal slogan. Kapal boleh berbendera merah putih, tapi sistemnya dikendalikan dari luar negeri, sepertinya ini sebuah ketakutan itu beralasan karena kapal hanya alat, sementara jasa terkait adalah sistem. Jika sistem logistik, keagenan, dan pemanduan dikendalikan pihak asing, maka lambat laun arah pelayaran nasional ditentukan oleh kepentingan investor, bukan negara.
Perhubungan Laut Harus Tegak Lurus
Di tengah arus deras investasi global, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut harus tetap menjadi penjaga haluan kedaulatan. Kementerian Perhubungan perlu memastikan bahwa setiap regulasi investasi asing — khususnya terkait saham 51% — tetap berpijak pada semangat kemandirian nasional.
UU Cipta Kerja memang mendorong percepatan investasi, tapi bukan berarti membuka ruang kehilangan kendali. Perhubungan Laut harus tegas : bukan hanya asas cabotage yang nasional, tetapi jasa-jasa terkait pun harus dikuasai nasional minimal 51%.
Keterbukaan investasi bukan berarti menyerahkan kendali. Regulasi harus diarahkan agar investor asing menjadi mitra pembangunan, bukan pemegang kendali infrastruktur laut.
Menjaga Laut dari “Kolonisasi Ekonomi
Laut adalah ruang strategis bangsa. Sekali kendali logistik dan jasa pelayaran dikuasai asing, akan sulit mengambilnya kembali tanpa ongkos politik dan ekonomi yang mahal.
Karenanya, prinsip saham nasional minimal 51% harus menjadi benteng hukum dan moral bagi setiap kebijakan investasi di sektor pelayaran.
Negara ini tidak menolak investasi, tetapi investasi harus tunduk pada prinsip kedaulatan ekonomi maritim.
Negara harus menjadi nahkoda yang menentukan arah kapal investasi, bukan sekadar pelabuhan yang disinggahi modal asing.
Penutup
Di tengah euforia reformasi investasi, jangan sampai kita melupakan pesan luhur Pasal 33 UUD 1945 : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”- Kapal tetap berbendera Merah Putih, tetapi sistem dan Sahamnya juga harus Merah Putih,Bukan hanya asas cabotage yang harus nasional, melainkan seluruh jasa terkait pelayaran pun wajib berada di bawah penguasaan nasional dengan porsi saham 51%. Hanya dengan cara itulah Laut Indonesia tetap menjadi milik bangsa Indonesia.
Mohamad Erwin Y.Z.
(Praktisi Angkutan Laut/ Sekretaris DPC INSA Jaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar