Jakarta (wartalogistik.com) — Pasca kemacetan luar biasa pertengahan April 2025, di kawasan Jalan Utama Jakarta Utara, dinamika pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatnya arus perdagangan global, efisiensi logistik menjadi fondasi utama bagi daya saing Indonesia. Namun, di balik geliat aktivitas ekspor-impor, Pelabuhan Tanjung Priok justru menghadapi tekanan serius dari dalam kawasan itu, yakni meningkatnya jumlah kontainer longstay dan pembatasan pelayanan kapal akibat kebijakan Yard Occupancy Ratio (YOR) 65%.
Dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi yang digagas oleh Dewan Pengurus Cabang Indonesian National Shipowners’ Association (DPC INSA) Jaya, dibahas bahwa kedua isu tersebut telah berdampak langsung terhadap kelancaran arus logistik nasional dan operasional industri pelayaran—baik domestik maupun internasional.
Rapat ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan strategis, termasuk Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas ( KSOP ) Utama Tanjung Priok, Pelindo, Bea Cukai, Teminal IPC TPK, TPK Kodja, JICT, Adipurusa, TSJ, MAL, Perusahaan Pelayaran, dan Pengurus DPC Insa Jaya.
Kontainer Longstay : Masalah Lama yang Semakin Mendesak
Fenomena kontainer longstay bukanlah hal baru. Jika tidak diatasi, maka akan menjadi bom waktu bagi logistik nasional. Namun dalam beberapa tahun terakhir, jumlahnya terus meningkat seiring dengan kompleksitas administrasi, terbatasnya infrastruktur pendukung, serta minimnya integrasi antarlembaga.
Dalam banyak kasus, kontainer bermasalah tidak lagi sekadar barang tak terurus, melainkan menjadi beban struktural bagi kelancaran operasional pelabuhan.
Beberapa penyebab utama yang diidentifikasi oleh INSA Jaya antara lain: Keterbatasan kapasitas penumpukan baik di terminal maupun Beacukai yang tidak seimbang dengan pertumbuhan impor. Proses perizinan dan clearance yang masih terdapat kendala berkaitan dengan regulasi.
Barang Tidak Dikuasai (BTD) yang tak kunjung dilelang atau dimusnahkan. Barang rusak, kadaluarsa, atau berbahaya yang memerlukan penanganan khusus lintas lembaga. Tanggung jawab biaya yang tidak jelas, membuat banyak instansi ragu bertindak karena berkaitan dengan celah hukum dari barang.
Ketika kontainer ini terus tertahan, dampaknya menyebar luas : bottleneck distribusi barang, naiknya biaya logistik, keterlambatan distribusi, hingga terganggunya jadwal kapal dan pengiriman barang ke konsumen akhir.
INSA Jaya mengusulkan sejumlah langkah konkret untuk penanganan jangka pendek dan menengah, seperti:
Pembentukan tim taktis 24/7 lintas instansi, termasuk Pelindo, Bea Cukai, KLHK, dan aparat penegak hukum.
Terminal Petikemas, Perusahaan Pelayaran, KSOP Tanjung Priok dan Beacukai melakukan pendataan serta melakukan Tindakan yang dapat mengurangi container longstay dan Penyusunan protokol penanganan terpadu sebagai standar bersama.
Mengusulkan agar Dana darurat operasional dari Kemenkeu melalui mekanisme SKB, yang dapat diganti dari hasil lelang kontainer BTD.
Konsorsium multi-sektor untuk efisiensi pemindahan dan pelepasan kontainer bermasalah secara massal.
YOR 65% : Regulasi yang Perlu Penyesuaian dengan Realitas Lapangan
Kebijakan Yard Occupancy Ratio (YOR) sebesar 65% yang digunakan sebagai ambang batas operasional terminal pelabuhan juga menjadi sorotan. Kebijakan ini, meskipun bertujuan mencegah kepadatan yang berdampak kemacetan, dalam praktiknya justru akan menimbulkan antrean kapal, keterlambatan sandar, hingga beban tambahan biaya bagi Perusahaan pelayaran.
INSA Jaya memandang bahwa kebijakan ini perlu dikaji ulang, bukan untuk dihapuskan, tetapi disesuaikan dengan kondisi faktual pelabuhan secara holistik antara sisi laut dan sisi darat tidak terjadi hambatan yang akan menimbulkan permasalahan baru.
Rekomendasi yang diajukan:
Revisi peran YOR menjadi alat evaluasi internal terminal, bukan batasan pelayanan kapal.
YOR terupdate dari Pelabuhan Tanjung Priok karena data YOR terakhir diterbitkan oleh Dirjen Hubla pada tahun 2016.
Pembentukan tim evaluasi bersama dengan dukungan otoritas pusat dan stakeholder lokal.
Penyerahan rekomendasi resmi kepada DPP INSA dan Dirjen Perhubungan Laut untuk menyesuaikan regulasi YOR secara nasional.
Implementasi sistem digital YOR & slot sandar real-time, yang dapat digunakan bersama untuk perencanaan operasional dan kebijakan pelabuhan.
Membangun Ekosistem Logistik yang Responsif dan Kompetitif
Dalam pandangan INSA Jaya, penyelesaian dua isu ini tidak dapat dilakukan secara sektoral. Dibutuhkan pendekatan kolaboratif, responsif, dan berbasis data. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, operator pelabuhan, dan masyarakat logistik adalah kunci utama dalam membangun pelabuhan yang modern, adaptif, dan efisien.
“Kami percaya bahwa Tanjung Priok bukan hanya pelabuhan, tapi simbol dari kekuatan logistik nasional. Bila kita berhasil mengatasi hambatan di sini, itu akan menjadi fondasi kuat untuk memperbaiki rantai pasok Indonesia secara keseluruhan,” ungkap Mohamad Erwin Y. Zubir, Sekretaris DPC INSA Jaya.
Mohamad Erwin Y. Zubir, Sekretaris DPC INSA Jaya menyampaikan informasi perihal pendapat Insa Jaya pada Rapat Mitigasi Kemacetan Lalu Lintas luar DLKP dan DLKR Pelabuhan Tanjung Priok pada taggan 14 Mei 2025 dengan pihak Dishub DKI Jakarta, Insa Jaya memberikan masukan : Pemda DKI melakukan kajian ulang tentang kemampuan jalan raya di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, Pengajian ulang perihal perizinan Depo Peti Kemas, Penerapan ketat berkaitan Amdal Lalin terhadap Depo Peti Kemas di Wilayah Cakung dan Marunda karena dampak kemacetan bukan hanya di sebabkan oleh Pelabuhan Tanjung Priok tapi kemungkinan besar dampak dari antrian di depo peti kemas.
Lebih dari sekadar menemukan solusi teknis, semua pihak peduli dan berkoloborasi untuk mencegah kemacetan yang terintegrasi, forum ini juga membuka ruang bagi transformasi kebijakan, percepatan digitalisasi, dan pembentukan pola kerja lintas sektor yang saling mendukung dan berkomitmen demi kemajuan dan kelancaran logistik nasional serta sepakat agar kemacetan luarbiasa tidak terjadi lagi.
(Abu Bakar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar