Oesodo Hadidjojosaputro : Pantang Putus Asa Wartawan Juga Pengusaha - WARTA LOGISTIK | CERDAS & INFORMATIF

Post Top Ad

Responsive Ads Here
Oesodo Hadidjojosaputro :  Pantang Putus Asa Wartawan Juga Pengusaha

Oesodo Hadidjojosaputro : Pantang Putus Asa Wartawan Juga Pengusaha

Share This



Jakarta (wartalogistik.com) -  Kisah Oesodo yang begitu lengkap dan mudah dicerna, dalam buku novel Meraih Asa Tanpa Putus Asa, terkait peran Dr. Tito Setya Budi ,  menyemangati Oesodo menuliskan sejarah hidupnya berdasarkan potongan ingatan.



Patut dimaklumi usia beliau  saat diterbitkan buku, sudah  75 tahun. Ini bukan hal gampang menyarikan kisahnya  Dan kepiawaian Tito, mengolah dalam bentuk novel, -- sebuah cerita  perjalanan seorang manusia yang pantang menyerah.



Ketika menyodorkan bukunya,  Bang Oesodo, seakan menyodorkan keabadian. Juli tahun ini, genap 12 bulan, pasca operasi  bypass jantung,--artinya jantungnya sempat berpindah tempat di luar jasadnya. Sangat tipis sekali untuk berpindah alam. “Terlalu jumawa jika menganggap apa yang saya tuliskan ini sebagai sesuatu yang berharga di luar diri saya dan keluarga”, ungkapan Oesodo pada sekapur sirih di buku itu.



Beliau menyadari, buku ini merupakan warisan kenangan untuk istri, anak, cucu dan handai taulan, serta masyarakat yang mau membaca.



 “Saya mempercayai ungkapan dalam bahasa latin, verba volant scripta manent”. Kutipan pidato Kaisar Titus di hadapan  senat Romawi, -- kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap. Pengertiannya, bicara dapat dilupakan, sedangkan tulisan bakal abadi.



Prof. Dr. Rahmanu Widayat,  Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Sebelas Maret, Solo, dalam pengantar novel biografi Meraih Asa Tanpa Putus Asa , menerangkan mengenal Oesodo melalui sastrawan Dr. Tito Setyo Budi, -- yang tidak lain ponakan Oesodo.



Tentu saja setelah  membaca tuntas sebelum naik cetak.”Saya sudah menduga,  buku ini  bercerita sebuah perjuangan tanpa mengenal lelah, jauh dari putus asa. Karena asa (harapan) tak akan tercapai jika putus di tengah jalan”.



Menurut Rahmanu,  biografi yang ditulis dengan gaya novel , mampu melambungkan khayalan, imajinasi pembacanya. Ada hal yang menyentuh hati, menimbulkan rasa iba, gregetan. Misalnya, sang tokoh yang terlempar ke pulau Sumatera tanpa kejelasan nasib. Kelakuan oknum aparatur negara yang demen menyunat duit rakyat kecil. Fenomena yang berlangsung hingga sekarang.



Buku yang mengisahkan Oesodo yang kalah perang, melahirkan sedikit kesedihan.Tokoh utamanya, tulis Rahmanu,  Pak Oesodo harus menelan kepahitan akibat kalah dalam pertarungan Pilkada di kampung kelahirannya, Kabupaten  Ngawi, Jawa Timur. 



Jelas mengeruk dana yang tidak sedikit,  perusahaan tergerus, dan membutuhkan  waktu satu dasa warsa untuk bangkit kembali, Konon tidak bisa mencapai kesuksesan seperti sebelumnya.



Dari buku ini, saya bisa lebih mengenal sosok priyayi ini. Kisahnya disaji dalam sepuluh bagian dengan tambahan foto dalam kenangan. Isinya, antara lain:  - Hutan bukan pilihan, -Paling miskin, -Sinder pertanian, sebuah asa, - Babak sejarah baru,- Kolaborasi Batak, -Menjadi wartawan Hr. Merdeka, -Naluri seni tak pernah mati, -Sekedar melongok kota dunia (Paris, Perancis),- Sudah jatuh tertimpa tangga,  dan Simbok Ibu terbaik.



Penggalan kisah yang dapat saya kutip, semasa di SMP Santo Thomas, selalu melewati rumah sinder kehutanan (pimpinan unit Dinas Kehutanan). Yang menjadi perhatiannya, mobil Volks Wagen (VW) yang dipajang di garasi sinder. Maklum anak Dusun Bangun, Desa Bangunrejo Kidul, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.  Tak ubah, remaja umumnya, ingin menggapai satu saat memilikinya.



Maka berbekal hasil jual tanah orang tua dan kompromi dengan saudara-saudaranya, Oesodo melanjutkan pendidikan  di  Bogor, memilih Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), ujung bakal jadi penyuluh pertanian. Rupanya, tidak semulus yang dibayangkan. Beruntungnya ada teman sekelas di SPMA yang drop out anak pejabat Pekerjaan Umum (PU) di Lampung, Sumatera Selatan,  mengajaknya kerja, berakhir dgn kuli pengaspalan jalan.



Penggalan kisah lainnya, di Jakarta, tinggal ditempat saudara, meraih kerja serabutan  jadi smokel (mengetuk karat) di Dok Kapal, sampai menawar kelambu dari rumah kerumah di kawasan Ancol hingga Gunung Sahari, yang paling penting ada kegiatan mengisi kekosongan. 


 Jatuh Bangun Meraih Asa


Satu ketika ada peruntungan melalui program transmigrasi di Palembang, Sumatera Selatan. Kesempatan ini ada secercah harapan sesuai pendidikan menjadi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) bergaji lima ribu perak di tahun 1970-an.



Rupanya upah yang diterima, hanya tiga ribu perak, di korup oknum instansi. Protes, bolak balik dari desa ke kabupaten, sampai propinsi. Hingga ke pusat. Lawatannya berakhir nol.



Jakarta selalu menjadi magnit yang kuat. Lewat pertemanan mengadu kesempatan dan di terima perusahan jasa asuransi, menawarkan polis . Dengan berbekal PPL, bolehlah meyakinkan custumer. Namun dalam perjalanan, dari rekannya, mendengar cerita ada peluang yang menantang menjadi wartawan. Maka mendaftarkan diri mengikuti kursus jurnalistik dilantai dasar  gedung logistik Garuda Indonesia, Jl. Gunung Sahari, Jakarta Pusat.



Dengan kartu pers yang diberikan pelatihan, Oesodo job training di Haruan Sinar Pagi, Pimpinan Redaksi Alm. Carli Siahaan. Hampir 90% awak medianya bersuku Batak. Saya bisa membayangkan priyayi Jawa di tengah lingkungan, jika bicara selalu keras, tegas dan patah-patah. Memang tidak lama di sana, hingga  Nurman Diah, Pimpinan Harian. Merdeka, meminta redakturnya untuk bergabung, --lantaran ada beritanya selalu tersaji dihalaman satu.



Saat Oesodo, kerja dengan rekan yang sebagian suku Batak membawanya jatuh hati pada Ertina Purba, staf protokol humas di kantor Walikota Jakarta Utara. 



Istri yang dinikahi tahun 1985 , telah melahirkan belahan jiwa, dua putra. Ibu Tina, sahabat saya dan alm. Syamsulrijal dari Hr. Pelita. Penolong ketika dikejar dead line, rela membagi ongkos transpor, cukup dengan berbisik.



Di awal novel biografi ini , beragam komentar, a.l, Prof. Dr. Wakit Abdullah (Guru Besar Linguistik UNS Surakarta), Dr. Tjahjono Widijanto M.Pd, (Penyairdan Sastrawan Nasional), Agoes Nurbito SH, M.Si, (Sekda Kab. Ngawi 2005 -2012),  Dr. Mulyo, Sp.OG, (Alumnus SMP Santo Thomas), Marsma TNI  Purn Nanok Suratno (Dan Kopasgat ke 16 TNI AU),Prof. Dr. Ir. Bambang Widigdo (Guru Besar Perikanan dan Ilmu Keluatan IPB), Komjen Pol (Purn) Drs. Heru Winarko (Mantan Kepala BNN yang perna menjadi Kapolsek Tanjung Priok,  Jakarta Utara. Ada rekan wartawan yang saya kenal H. Atal S. Depari mantan Ketua Umum PWI,  Cholik Wahab, dari The Indonesia Observer dan Karim Paputungan, Pemred H. Merdeka, juga Hr, Rakyat Merdeka.

Pertemuan silahtuhrahmi yang dimulai makan siang, sampai menjelang Isya Obrolan kami berseloroh mengenang masa kerja, suka duka peliputan, diakhir cerita senda gurau dimasa tua, pensiun kesibukan rumah yang tak putus, momong cucu, sampai merajik obat tradisional. Lega rasanya, ada semangat baru menyongsong masa renta. 


" Semoga sehat selalu Bang, dan Semangat ," ungkap M. Tavip Mohune mengakhiri tulisan dari buku Oesodo Hadidjojosaputro.


Selesai  



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here