Azas Cabotage: Benteng Kedaulatan di Embusan Ombak Nasional - WARTA LOGISTIK | CERDAS & INFORMATIF

Post Top Ad

Responsive Ads Here
Azas Cabotage: Benteng Kedaulatan di Embusan Ombak Nasional

Azas Cabotage: Benteng Kedaulatan di Embusan Ombak Nasional

Share This


Jakarta (wartalogistik.com)  Ombak yang berkejaran di lautan Nusantara bukan hanya membawa kapal-kapal, tetapi juga mengiringi sebuah prinsip besar yang menjaga tegaknya kedaulatan negeri: asas cabotage.


Bagi sebagian orang, istilah itu mungkin terdengar teknis, sekadar aturan soal kapal berbendera Indonesia yang wajib mengangkut muatan domestik. Dalam kontek global, adalah hak negara untuk menetapkan kebijakan kapal dalam negerinya sendiri yang mengangkut komoditas dalam negaranya.


Namun, bagi pelaku industri pelayaran, cabotage adalah kapal perang ekonomi bangsa — benteng yang memastikan hilir mudik kapal mengangkut komoditas di laut Indonesia tidak dikapalkan oleh orang lain alias bendera kapal asing atau perusahaan asing.


Dari Instruksi Presiden hingga Armada Nasional


H. Sabri Saiman

Sejak Inpres No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan kemudian ditegaskan dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, cabotage telah mengubah wajah industri pelayaran Indonesia. Armada nasional tumbuh bak jamur di musim hujan: dari hanya sekitar 6.000 kapal menjadi lebih dari 24.000 unit dalam waktu satu dekade.


“Kita tidak lagi terlalu bergantung pada kapal asing untuk mengangkut kargo dalam negeri,” kata Sabri Saiman, salah seorang mantan anggota Komisi V DPR RI  yang saat ini aktip mengamati industri maritim nasional.

“Kini, kapal kita sendiri mampu berdiri di garda depan.” tegasnya yang ditemui belum lama ini.


Lebih dari sekadar soal bisnis, armada berbendera merah putih ini juga telah menjadi bagian dari sistem pertahanan negara, siap digerakkan saat darurat.

Carmelita Hartoto

Saat akan dimulai penerapan asas cabotage memang menjadi tanda tanya saat itu. Sampai sejauhmana kesiapannya. Namun pelayaran nasional menjawab tegas  bisa dijalankan.


" Kita memulainya secara bertahap untuk 13 komoditas mengawali penerapan asas cabotage, saat Inpres Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional ditetapkan. Dan kita siap menyiapkan armada. Terbukti azas cabotage bisa dijalankan, tanpa gejolak kekurangan kapal saat itu," tegas Carmelita Hartoto, saat merayakan HUT INSA ke 58 di Jakarta, beberapa waktu lalu.


UU No. 66 Tahun 2024: Mengunci Kedaulatan di Laut



H. Andi Patonangi

Pemerintah mempertegas langkah itu melalui UU No. 66 Tahun 2024, perubahan ketiga atas UU Pelayaran. Regulasi ini tak hanya membatasi ruang gerak kapal asing, tapi juga memperkuat syarat kepemilikan, joint venture, serta memberi ruang lebih besar bagi pelayaran rakyat dan perintis.


“Asas cabotage bukan sekadar aturan teknis, tapi benteng kedaulatan bangsa,” tegas Ketua DPC INSA Jaya, Andi S. Patonangi.


 “Kalau aturan ini dilemahkan, maka bukan hanya pelayaran nasional yang terguncang, tetapi juga ketahanan ekonomi dan kedaulatan maritim Indonesia.” jelasnya.


Nada serupa datang dari Sekretaris DPC INSA Jaya, Mohamad Erwin Y. Zubir. Baginya, cabotage adalah “garis merah” yang tidak bisa ditawar. “Investasi asing boleh masuk, tapi harus tunduk pada aturan investasi dan pelayaran Indonesia. Tidak boleh ada kompromi,” ujarnya.


Ombak Tantangan: Usulan Revisi dan Godaan Investasi


Meski fondasi hukum kian kokoh, ancaman datang dari berbagai arah. Beberapa wacana revisi yang berpotensi membuka celah bagi kapal asing kembali mencuat. Jika dibiarkan, dikhawatirkan armada nasional kembali tergilas, dan lautan Nusantara tak lagi sepenuhnya dikapteni bangsa sendiri.


Karena itu, DPC INSA Jaya bersama anggota pelayaran menyerukan beberapa langkah:


Pertahankan cabotage sebagai domain kapal berbendera Indonesia.


Kembangkan industri galangan kapal dengan insentif dan dukungan teknologi lokal.


Libatkan pelayaran nasional dalam program tol laut, logistik digital, dan rantai ekspor-impor.


Jadikan cabotage simbol kedaulatan, bukan sekadar aturan ekonomi jangka pendek.


Membangun Identitas Bangsa di Laut


Erwin Zubir


Indonesia pernah mencanangkan diri sebagai Poros Maritim Dunia. Visi itu kini kembali menemukan pijakannya dalam asas cabotage. Sebab, bicara cabotage sejatinya bukan hanya soal siapa mengangkut barang dari Sabang ke Merauke, tetapi juga tentang siapa yang berdaulat atas laut Nusantara.


“Sebagai bangsa maritim, kita harus berdiri di atas kaki sendiri,” ujar Erwin.


Di dermaga-dermaga Tanjung Priok, Marunda, hingga Kepulauan Seribu, suara itu menggema. Suara pelaut, pemilik kapal, dan pekerja pelabuhan yang percaya: di balik tiang layar dan mesin kapal berbendera merah putih, berkibar kedaulatan sebuah bangsa kepulauan terbesar di dunia.

(Abu Bakar)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here