Sabri Saiman : Harhubnas Momen Kemenhub Introspeksi Menjalankan Tusi Membina Aspek Keselamatan dan Keamanan Transportasi Yang Belum Optimal - WARTA LOGISTIK | CERDAS & INFORMATIF

Post Top Ad

Responsive Ads Here
Sabri Saiman : Harhubnas Momen Kemenhub Introspeksi Menjalankan Tusi Membina Aspek Keselamatan dan Keamanan Transportasi Yang Belum Optimal

Sabri Saiman : Harhubnas Momen Kemenhub Introspeksi Menjalankan Tusi Membina Aspek Keselamatan dan Keamanan Transportasi Yang Belum Optimal

Share This

 



Jakarta (wartalogistik.com) - Anggota DPR RI Periode Tahun 2004 - 2009, Sabri Saiman,  berharap Kementerian Perhubungan (Kemenhub)  dalam memperingati Hari Perhubungan Nasional 2023, setiap tanggal 17 September,  juga melangsungkan kegiatan   introspeksi dalam menjalankan empat undang-undang transportasi yang belum optimal, untuk dijalankan lebih optimal lagi.


Kemenhub membina UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


" Terbitnya undang-undang bisa berasal dari masyarakat dan dari pemerintah. Pada UU yang ada di sektor transportasi, semuanya usulan pemerintah (Kementerian Perhubungan) sehingga pihak Kementerian Perhubungan lebih optimal menjalankannya, dalam rangka membina dan  mendukung masyarakat dalam menjalankan kegiatannya di bidang transportasi," kata Sabri Saiman di Jakarta, Minggu (17/9).

Apa yang disampaikan Sabri Saiman terkait pelaksanaan regulasi yang belum optimal, bahkan bisa dikatakan kontraproduktip. Contohnya, adanya sebagian kebijakan pengalihan  tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut ( Ditjen Hubla) ke Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ( Ditjen Hubdat), sehingga  menimbulkan dualisme atas penanganan satu objek, yakni kapal laut. Padahal saat ini dalam dunia angkutan laut secara internasional dan nasional, kapal dibedakan dari jenisnya ada dua yakni kapal barang dan kapal penumpang, buka pada operasional penyeberangan (jarak pendek, poin to poin atas putusnya jalur darat) dan pelayaran (jarak jauh)


Pengalihan tugas dan fungsi (tusi)  itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 122 Tahun 2018 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan.


"  Ada sebagian pembinaan atas aspek keselamatan dan keamanan pelayaran diserahkan pada Ditjen Hubdat, sehingga Ditjen Hubdat harus juga menyiapkan sarana, prasarana dan SDM. Padahal objek nya satu, yakni kapal laut. Ini khan tidak efisien, padahal  pemerintah selalu mengarahkan jajarannya untuk efisien,"  jelas Sabri Saiman.


Lebih jauh lagi Sabri menjelaskan ketidak efisiensian itu terlihat pada bertambahnya lembaga pembina pada satu objek tersebut. Nanti dari pihak Ditjen Hubdat akan membentuk, Marine Inspektur, Syahbandar, Ahli Ukur, KPLP (Kestuan Penjaga Laut dan Pantai) sebagai penegak hukum keselamatan dan keamanan di pelabuhan dan kapal-kapal penyeberangan. 


" Apakah nantinya Kemenhub atau  Hubdat akan membentuk sejenis Mahkamah Penyeberangan, untuk melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal penyeberangan, jika selama ini sudah ada Mahkamah Pelayaran yang melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal laut mengalami kecelakaan," jelas Sabri.


Dikatakan juga, jika semua itu dibuat, maka akan terjadi penganggaran yang berlebih, karena ada satu objek dibina oleh dua lembaga dalam satu kementerian. Padahal dalam pembinaan pada aspek keamanan dan keselamatan pelayaran  di Ditjen Hubla sudah lengkap, dari mulai perencanaan bangunan  kapal, operasional sampai pada mengalami kecelakaan, kemudian kapal di scrap.


" Hal  itu (kelengkapan kelembagaan dan pembinaannya)  sudah berlangsung lama dan panjang, tidak serta merta. Tapi yang terjadi di Indonesia pembinaan pada kapal penyeberangan dilakukan pada Hubdat yang kelengkapan lembaga membina aspek keselamatan dan keamanan masih terbatas. Dan  pada saat di Ditjen Hubdat lembaga untuk membina aspek keselamatan dan keamanan di laut  belum siap di daerah-daerah tertentu, akhirnya diserahkan lagi ke Ditjen Hubla untuk menanganinya," tegas Sabri.


Atas keadaan yang disampaikan itu,   Sabri Saiman menyatakan  aneh atas peranan Kemenhub dalam menata internal. Dimana ada regulator darat mengurusi soal laut. Urusan transportasi darat saja sangat banyak dan luas jangkauannya, ini diberi tugas untuk mengurus soal laut juga.


"Jika pun peranan di Ditjen Hubla belum optimal, bukan berarti tugas dan fungsinya yang diserahkan pada lembaga yang yang jelas-jelas bukan mengurusi aspek di laut. Melainkan   harus diperkuat Hublanya, didukung agar peranannya  yang belum maksimal semakin maksimal," tegasnya.


Soal lain tambah Sabri, terkait dengan pembentukan sea and coast guard. Dasar pembentukan ada dalam amanat UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Namun karena adanya permintaan dari instansi lain agar pembentukan sea and coast guard menggunakan UU yang bukan dari UU Pelayaran, maka Kementerian Perhubungan pun mengikuti permintaan itu. Padahal dengan restu Kemenhub itu, maka ada masalah baru dalam proses pembentukan lembaga penyelamatan dan pengamanan di laut tersebut.


"Harusnya Kementerian Perhubungan tegas dalam  menjalankan amanat UU Pelayaran dan mampu mengatasi  pihak lain untuk membentuk lembaga sea and coast guard  dengan UU yang bukan mengatur soal pendirian coast guard," tegasnya.


Baca : http://www.wartalogistik.com/2023/09/karena-pelaut-ditetapkan-sebagai.html?m=1


Perkara lain terkait  lemahnya dalam menjalankan UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, sampai saat ini  dalam pelaksanaannya, ada bagian yang  tidak sebagaimana amanah yang ada dalam pasal-pasal dari undang-undang tersebut, maupun turunannya.


" Sebagai contoh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla)  yang membina sektor pelayaran, yang di dalamnya terdapat pembinaan pada awak kapal. Seharusnya regulator ( Ditjen Hubla) menjalankan pembinaan pada awak kapal sebagaimana undang-undang yang berlaku. Namun, karena pihak Ditjen Hubla tidak optimal, maka keberadaan pelaut juga dilakukan pembinaan pada kementerian lainnya," jelas Sabri Saiman.


Apa yang dikatakan Sabri Saiman terkait saat ini pelaut ditetapkan berdasarkan UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.


Secara rinci dijelaskan, profesi pelaut memiliki kekhususan dalam pembinaannya. Hal itu bisa dilihat dari defenisi pelaut, lokasi kerja dan wilayah kerjanya. Atas kekhususan itu, maka pelaut tidak bisa dikaitkan dalam pekerja migran.


"Untuk menentukan pelaut sehat saja ada kekhususannya, baik menyangkut rumah sakit yang memeriksa, dokter yang memeriksa, SOP pemeriksaan kesehatan,  sampai pada adanya sertifikat tentang kesehatan buat pelaut, sebagai hasil akhir dari pemeriksaan kesehatannya," kata Sabri Saiman.


Adanya penetapan pelaut sebagai pekerja migran, Sabri mengakui melalui proses panjang antar kementerian maupun dari direktorat yang terkait dalam membina pelaut. Namun, setelah menjadi undang-undang  yang menyebutkan bahwa pelaut masuk dalam kotagori  pelaut migran, sesungguhnya peranan kementerian perhubungan dalam "mengamankan" pembinaan pelaut lemah.


Akibatnya, kata Sabri Saiman, ada dualisme pihak yang mengurus pelaut. Dan pada akhirnya pelaut yang terbebani, karena pihak lainnya yang mendapat amanat juga untuk membina pelaut membuat aturan lagi buat pelaut.


"Jadi pelaut yang harus menerima dampaknya, dengan munculnya kebijakan dari pihak lainnya. Ini khan jadi memberatkan masyarakat yang berprofesi pelaut,  dalam mengurus kewajiban adiministrasi perizinan bekerja baik dalam negeri maupun di luar neger, " jelas Sabri Saiman.


Apa yang disampaikan Sabri Saiman saat ini terkait adanya gugatan dari pelaut yang diwakili Asosiasi Pelaut Perikanan Indonesia dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) di Tegal,  perusahaan pengerah tenaga kerja pelaut, yang  mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pada pasal 4 ayat (1) huruf c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.


Dalam gugatan itu disebutkan bahwa UU No 18 Tahun 2017 materi Pasal 4 ayat (1) huruf c merugikan kepentingan pelaut dan keagenan awak kapal (manning agency), dimana mengkategorikan pelaut sebagai pekerja migran.


Disebutkan juga kerugian atas adanya regulasi nasional yang menetapkan pelaut jadi pekerja migran pada  perusahaan pengawakan kapal.  Perusahaan pengawakan kapal (manning agency)  dalam menjalankan kegiatan pengerahan pelaut harus tidak hanya memiliki dokumen Perizinan Berusaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang selama ini dalam pembinaan Ditjen Hubla.


Namun karena juga harus memiliki Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI), dari Kemnaker. Jika belum memiliki SIP2MI,  maka pihak pengerah tenaga kerja pelaut yang mengirimkan pelaut ke luar negeri, bisa ditetapkan melakukan pelanggaran  dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Sabri berharap Kementerian Perhubungan disaat masih memperingati Hari Perhubungan Nasional  juga mengkaji atas peran sebagai pembina sektor transportasi, baik darat, laut, udara dan kereta api.


"Jangan sampai apa yang dilakukan di Kementerian Perhubungan jadi tumpang tindih, tidak efisien, dan semakin jauh dari tujuan untuk zero accident, dan mensejahtarakan masyarakat dari sektor transportasi" tutup Sabri.

(Abu Bakar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here