Jakarta
(wartalogistik.com) - Dewan Pimpinan Pusat Pergerakan Pelaut Indonesia
(DPP-PPI) meminta kepada Kementerian Perhubungan agar menerbitkan peraturan
teknis tentang Standard Operating Procedure (SOP) tata cara penyelesaian
perselisihan pelaut sebagai petunjuk teknis (juknis) Pasal 36 Ayat (1)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan
Penempatan Awak Kapal.
Dalam
pasal tersebut dikatakan bahwa ; Perusahaan keagenan awak kapal wajib
menyelesaikan perselisihan yang timbul antarpelaut, dengan pemilik atau
operator kapal atau pelaut dengan perusahaan keagenan awak kapal baik secara
musyawarah maupun secara hukum sesuai yang tercantum di dalam Perjanjian Kerja
Laut.
Kemudian
pada Ayat (2) nya dikatakan bahwa jika musyawarah sebagaimana dimaksud ayat (1)
tidak menemukan kesepakatan, maka para pihak dapat menyelesaikannya di
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Dalam
siaran pers yang diterima redaksi, Ketua Bidang
Advokasi, Hukuk dan HAM, DPP PPI, Imam Sjafi’i ketika terjadi
perselisihan antara pelaut sebagai pihak pekerja dengan perusahaan sebagai
pihak pengusaha, diarahkan untuk bermusyawarah dan ketika tidak selesai
berlanjut ke PHI.
Tentunya
sebelum perselisihan berlanjut ke PHI, para pihak yang berselisih harus
melakukan pencatatan perselisihan pada Kementerian Ketenagakerjaan/Dinas
Ketenagakerjaan Provinsi/ Kabupaten/ Kota sebagaimana mandat UU No. 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU-PPHI) untuk
diselesaikan melalui jalur yang dipilih, biasanya mediasi.
“Barulah
ketika mediasi tetap tidak menemukan penyelesaian, maka berdasarkan Surat
Anjuran mediator para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan ke PHI,”
kata Imam Sjafi’I, Senin (25/3)
Ditambahkan
oleh Imam Sjafi’i berdasarkan pengalaman advokasi perselisihan ketenagakerjaan
pelaut di lapangan, PPI menemukan kendala ketika dalam proses mediasi di
Kemnaker atau Disnaker . Biasanya pihak perusahaan kerap mengabaikan setiap
panggilan sidang mediasi dari mediator hubungan industrial, sehingga
perselisihan-perselisihan yang ditangani kerap bermuara pada terbitnya Surat Nota
Anjuran mediator, yang kemudian juga diabaikan oleh perusahaan karena Nota Anjuran
mediator tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Jika
hal tersebut terus terjadi, sambung Imam Syafi’i dapat dipastikan ratusan
kasus-kasus ketenagakerjaan pelaut akan memenuhi kepaniteraan PHI, baik di
pusat maupun di tingkat Provinsi.
“Maka
berdasarkan kondisi di atas, PPI menilai bahwa Kemenhub Cq. Ditjen Perhubungan
Laut perlu menerbitkan juknis tentang SOP tata cara penyelesaian perselisihan
pelaut dalam bentuk Peraturan Dirjen Perhubungan Laut untuk mengisi kekosongan
Pasal 36 Ayat (1) PM 84/2013 tersebut, sebagai bentuk kehadiran Kemenhub
terhadap iklim ketenagakerjaan pelaut yang dinilai belum harmonis, dinamis, dan
berkeadilan,” jelas Imam Sjafi’i.
Kenapa
harus Kemenhub? Menurut Imam Sjafi’i, Karena
sekitar 3500 lebih perusahaan pelayaran yang terdaftar memiliki surat izin
usaha perusahaan angkutan laut (SIUPAL) dan 100 lebih perusahaan perekrutan dan
penempatan (manning agency) yang terdaftar memiliki surat izin usaha perekrutan
dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) berada di bawah Kemenhub.
Jadi,
lanjutnya Imam Sjafi’i secara kewenangan dan kapasitas Kemenhub lebih memiliki
power untuk memanggil pihak perusahaan ketika terjadi perselisihan dengan
pelaut karena Kemenhub memiliki object, yakni menaungi perizinan dan penerbitan
surat-surat kapal.
PPI
berharap kedepan kondisi ketenagakerjaan pelaut baik yang bekerja di dalam
negeri maupun yang bekerja di luar negeri semakin membaik. (Abu Bakar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar